Brain Vs. Heart: Kenapa Kita Berbeda?

Brain, aku bosan.

Brain sedang sibuk-sibuknya memperhatikan lirik lagu bahasa Mandarin. Mengingat-ingat hurufnya, goresannya, dan pelafalannya. Sesekali, Brain mencoba menerka-nerka artinya. Sementara beberapa orang di sekeliling sedang sibuk sendiri. Ada yang bernyanyi, memilih lagu, ngobrol, makan, minum bir, ada pula yang sibuk sama handphone-nya sendiri.

 

Heart: (Lebih kencang) “BRAIINNN, AKU BOSAN!!”

Brain: “Uhm…” (Ngeliat Heart) “Terus?”

Heart: “Aku mau keluar dari ruangan ini.”

Brain: “Tapi di luar ga ada apa-apa.”

Heart: “Daripada di sini… Aku ga suka…”

Brain dan Heart berdiri, berjalan keluar menyusuri lorong yang sepi. Tampak beberapa orang merokok di bawah langit gelap. Suasana di luar sangat kontras: sepi, sunyi, gelap, jauh dari hingar bingar lampu, musik, dan alkohol.

Tapi Heart justru suka suasana seperti ini.

 

Heart:Brain, Aku mau pulang.”

Brain: “Tapi si Mr Hamburger masih nyanyi di dalem. Sabar, ya.”

 

Mr Hamburger emang suka nyanyi dan suka ga enakan kalo si bos ngajakin minum-minum. Makanya mereka jadi betah berlama-lama. Begitu pula karyawan-karyawan lain.

 

Heart:Brain, kenapa kita beda?”

 

Brain diam saja. Bukannya tidak mau menjawab, tapi Brain sendiri tidak tahu jawabannya.

 

Heart: “Kenapa kita ga bisa have fun dengan cara seperti mereka?”

Brain: “Ya mereka suka nyanyi dan minum-minum, makanya mereka senang.”

Heart: “Bukan itu maksudku, Brain. Aku juga suka nyanyi, tapi nyanyi sendirian, di kamar. Maksudku, kenapa aku ga bahagia di kerumunan itu? Kenapa aku ga senang melakukan hal yang mereka lakukan di dalam?”

Brain: “Karena kita ga suka keramaian. Karena kita ga suka bir, menurutku rasanya ga enak.”

Heart: “Menurutku juga ga enak. Tapi… kalo ga enak, kenapa mereka suka?”

Brain: “Rasa kan soal selera. Sebagian orang juga ga suka tapi karena yang lain minum, jadi ikutan minum. Peer pressure, social drinker, atau apalah itu namanya.”

Heart: “Terus kenapa mereka mau ikut-ikutan orang? Kenapa orang dengan begitu mudahnya kena peer pressure?”

Brain: “Mungkin ga enak, karena yang nyuruh si bos. You know, people call it respect?

Heart: “Mau bos, presiden, atau siapapun, kalo ga mau ya harus tetep ga mau donk. Itu bukan soal respect, tapi soal prinsip. Bos juga harus respect karyawannya. Tuh liat, kalo sampe mabok gitu, siapa yang susah? Siapa yang badannya rusak? Emangnya bos peduli?”

Brain: (Menghela napas) “Ga semua orang seberani, sekeras, dan sedominan kamu, Heart.”

 

Heart memandangi langit gelap. Dia suka langit walaupun sering komplen kenapa langit di sini tidak berbintang, tidak seperti langit depan rumah yang sering ia pandangi 12 tahun lalu.

 

Heart: “Mereka nyanyi ga selesai-selesai. Aku mau pulang, Brain. Kamu minta kunci mobil aja, Mr Hamburger suruh pulang sama bos.”

Brain: “Uuh, langit udah gelap. Aku agak susah kalo nyetir gelap-gelap gini, Heart. Bentar lagi, ya. Tungguin deh 15 menit lagi.”

Heart: (Heart terdiam sejenak) “Apa mereka beneran bahagia, Brain? Atau karyawan-karyawan lain cuma senyum-senyum dan ketawa-ketawa palsu karena ga enak sama bos?”

Brain: “Aku ga tau, Heart.”

Heart: “Tapi kalo bohongan, masa mereka bisa segitu jagonya fake smile.”

 

Heart melihat sekeliling. Beberapa orang keluar dari tempat karaoke, hanya untuk sekedar merokok. Brain dan Heart berjalan menjauhi mereka, mencoba menghindar dari asap-asap beracun.

 

Heart: “Liat tuh Brain, hasil peer pressure. Mereka mungkin dulunya social smoker yang terus kecanduan jadi smoker beneran.”

Brain: (Bingung kenapa tiba-tiba topiknya berubah jadi perokok di ujung sana, tapi Brain keeps it cool) “Bisa jadi gitu.”

Heart: Terus mereka sekarang ibarat teroris, nyebar racun ke mana-mana. Kenapa ruangan merokok ga dibikin tertutup semua dan kedap udara aja sih? Mereka mau mati sengsara kok, nyeret-nyeret orang ikut.

Brain: “Hus!”

 

Brain mengeluarkan handphone, mengecek beberapa pesan yang masuk. Terus membuka game untuk mengalihan perhatian Heart sejenak. Heart cuma melirik, rupanya dia lagi ga mood main game.

 

Heart:Brain, kenapa kita beda?”

Brain: “Memangnya kamu mau seperti mereka?”

Heart: “Enggak.”

Brain: “Nah ya sudah. Aku juga ga mau. Lalu kenapa kita harus sama seperti mereka?”

Heart

Brain: “Tenang, kamu ga bakal menjalaninya sendirian kok. Aku selalu di sini sama kamu.”

 

Heart tersenyum dalam diam. Brain tau, detik itu, Heart is more proud of herself, she loves herself even more. And she should be. 

(NemiMakeit, 2018)
Subscribe
Notify of
0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments